Di masa Orde Baru, demokrasi yang dijalankan di Indonesia tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Meskipun pada awalnya Orde Baru dipandang sebagai masa pembangunan yang pesat, namun demokrasi yang dilaksanakan jauh dari ideal. Artikel ini akan menjelaskan mengapa demokrasi pada masa Orde Baru tidak sesuai dengan harapan dan apa dampaknya terhadap masyarakat.
Pertama-tama, demokrasi pada masa Orde Baru terbatas oleh otoritarianisme rezim yang berkuasa. Presiden Soeharto, sebagai pemimpin Orde Baru, memiliki kekuasaan yang sangat besar. Semua keputusan politik dan ekonomi diambil oleh pemerintah yang dipimpin oleh Soeharto. Hal ini mengakibatkan minimnya ruang untuk partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk menyuarakan pendapat dan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Kedua, pada masa Orde Baru terjadi pembatasan terhadap kebebasan pers dan media. Media di Indonesia pada masa Orde Baru dikendalikan oleh pemerintah dan diharuskan untuk menyampaikan propaganda yang mendukung rezim Soeharto. Kritik terhadap pemerintah dihukum dengan tindakan represif, termasuk penahanan dan penghilangan paksa. Akibatnya, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang objektif dan tidak memiliki akses yang bebas untuk menyampaikan pendapat mereka kepada publik.
1. Pemilihan Umum yang Tidak Bebas dan Adil
Pada masa Orde Baru, pemilihan umum tidak dijalankan dengan prinsip kebebasan dan keadilan. Pemilihan umum diatur sedemikian rupa untuk memastikan bahwa partai politik yang menguntungkan rezim Soeharto memenangkan pemilihan. Kekuasaan politik yang sangat kuat dalam tangan pemerintah membuat partai oposisi sulit bersaing dan mendapatkan dukungan yang cukup. Hasilnya, demokrasi yang dijalankan hanya sebatas formalitas belaka.
2. Penghancuran Partai Politik Oposisi
Rezim Orde Baru melakukan berbagai tindakan untuk menghancurkan partai politik oposisi. Partai politik yang dianggap mengancam rezim Soeharto dilarang atau dibubarkan. Beberapa partai politik yang berani menentang pemerintah dihadapkan pada intimidasi, penangkapan, atau penghancuran reputasi. Dengan cara ini, rezim Orde Baru memastikan bahwa tidak ada partai politik yang dapat mengancam kedudukan mereka. Hal ini menyebabkan monopoli politik yang tidak sehat dan menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia.
3. Keterlibatan Militer dalam Politik
Pada masa Orde Baru, militer memiliki peran yang sangat besar dalam politik. Banyak perwira militer menduduki posisi strategis di pemerintahan dan partai politik. Keberadaan militer dalam politik mengakibatkan kekuatan yang tidak seimbang dan mengintimidasi bagi partai politik oposisi. Selain itu, militer juga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, seperti penindasan terhadap aktivis politik dan pelanggaran terhadap kebebasan sipil. Keterlibatan militer dalam politik adalah salah satu faktor yang menghambat perkembangan demokrasi di masa Orde Baru.
4. Pembatasan Kebebasan Berpendapat dan Berkumpul
Selama Orde Baru, kebebasan berpendapat dan berkumpul dikebiri oleh pemerintah. Orang-orang yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah berisiko ditangkap, diintimidasi, atau bahkan menghilang secara paksa. Pembatasan ini menciptakan iklim ketakutan dan mencegah masyarakat untuk bersuara. Selain itu, pemerintah juga sering kali melarang pertemuan atau demonstrasi yang dianggap dapat mengancam kestabilan rezim. Pembatasan kebebasan berpendapat dan berkumpul merupakan salah satu penghalang utama bagi demokrasi yang sejati.
5. Korupsi yang Merajalela
Korupsi merupakan masalah besar yang terjadi selama Orde Baru. Rezim Soeharto dikenal dengan praktik korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah dan keluarganya. Korupsi merugikan negara, menghambat pembangunan, dan menciptakan ketidakadilan sosial. Selain itu, korupsi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem politik. Praktik korupsi yang merajalela pada masa Orde Baru adalah salah satu faktor yang membuat demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik.
6. Ketidakadilan Sosial dan Ekonomi
Pada masa Orde Baru, terdapat ketidakadilan sosial dan ekonomi yang sangat mencolok. Pemerintah lebih fokus pada pembangunan ekonomi yang pesat tanpa memperhatikan kesetaraan dan distribusi pendapatan yang adil. Akibatnya, kesenjangan sosial dan ekonomi semakin membesar. Kelompok masyarakat tertentu, seperti keluarga Soeharto dan kroni-kroninya, menjadi sangat kaya sementara sebagian besar masyarakat hidup dalam kemiskinan. Ketidakadilan sosial dan ekonomi menghambat perkembangan demokrasi karena memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah.
7. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama Orde Baru merupakan salah satu tantangan besar bagi demokrasi. Aktivis politik, jurnalis, dan anggota masyarakat sipil sering kali menjadi korban penangkapan dan penyiksaan oleh aparat keamanan. Pelanggaran hak asasi manusia tersebut tidak mendapatkan hukuman yang layak dan bertanggung jawab. Pemerintah tidak menghargai dan melindungi hak asasi manusia, sehingga menciptakan iklim ketakutan dan ketidakadilan. Pelanggaran hak asasi manusia adalah indikator yang jelas bahwa demokrasi pada masa Orde Baru sangat terbatas dan tidak sesuai dengan harapan.
8. Pendidikan yang Tidak Merdeka
Pada masa Orde Baru, pendidikan diatur sedemikian rupa untuk menciptakan pemahaman yang sesuai dengan ideologi rezim Soeharto. Kurikulum pendidikan diarahkan untuk mempromosikan paham Orde Baru dan menghilangkan kritisisme. Guru dan dosen juga diawasi ketat untuk memastikan mereka tidak menyampaikan pandangan yang bertentangan dengan rezim. Pendidikan yang tidak merdeka menyebabkan masyarakat kurang terdidik tentang hak-hak mereka dalam sistem demokrasi dan menyebabkan minimnya kesadaran politik di kalangan masyarakat.
9. Pengabaian Terhadap Keberagaman Budaya dan Agama
Pada masa Orde Baru, keberagaman budaya dan agama diabaikan oleh pemerintah. Pemerintah lebih mempromosikan budaya Jawa dan Islam sebagai identitas nasional yang dominan. Keberagaman budaya dan agama yang ada di Indonesia tidak dihargai dan diakui secara adil. Pengabaian terhadap keberagaman budaya dan agama menghambat perkembangan demokrasi karena menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial di masyarakat.
10. Pembatasan Kepemilikan Tanah oleh Rakyat
Selama Orde Baru, pemerintah melakukan pembatasan kepemilikan tanah oleh rakyat. Tanah yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat diambil alih oleh pemerint
10. Pembatasan Kepemilikan Tanah oleh Rakyat
Selama Orde Baru, pemerintah melakukan pembatasan kepemilikan tanah oleh rakyat. Tanah yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat diambil alih oleh pemerintah atau diberikan kepada perusahaan atau individu yang dekat dengan rezim Soeharto. Banyak masyarakat yang kehilangan akses terhadap tanah mereka sendiri, yang merupakan sumber kehidupan mereka. Pembatasan kepemilikan tanah oleh rakyat menciptakan ketidakadilan sosial dan ekonomi, serta menghambat kemajuan demokrasi di Indonesia.
Secara keseluruhan, demokrasi yang dilaksanakan pada masa Orde Baru tidak memenuhi harapan banyak orang. Otoritarianisme rezim, pembatasan kebebasan berpendapat, pemilihan umum yang tidak adil, keterlibatan militer dalam politik, korupsi yang merajalela, ketidakadilan sosial dan ekonomi, pelanggaran hak asasi manusia, pendidikan yang tidak merdeka, pengabaian terhadap keberagaman budaya dan agama, serta pembatasan kepemilikan tanah oleh rakyat adalah beberapa faktor yang menyebabkan demokrasi tidak berjalan dengan baik. Peningkatan partisipasi masyarakat, kebebasan berpendapat yang dihormati, keadilan sosial dan ekonomi, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah kunci untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia.
Demokrasi yang sesuai dengan harapan hanya dapat dicapai ketika semua warga negara memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, kebebasan untuk menyuarakan pendapat mereka, dan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Masa lalu yang kelam pada masa Orde Baru harus menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk terus berjuang demi demokrasi yang lebih baik dan sesuai dengan harapan semua orang.